Pagiku yang Ungu

Kegiatanku pagi ini sangat padat. Dinginnya pagi tak menghalangiku untuk melakukan kegiatan rutin. Kumulai hariku dengan bersujud kepada-Nya sang pemberi hidup. Syukur atas diperkenankannya aku menghirup udara hari ini. Kulanjutkan kegiatan pagi ini dengan melangkah ke dapur. Sebuah kewajiban tak tertulis yang harus kulakukan. Aku menjerang air untuk minumku pagi ini. Tak lupa kuhangati juga nasi kemarin yang masih tersisa. Aku sengaja tak membuangnya. Karena jika aku melakukan hal itu, berarti aku merampok jatah orang miskin.

Sambil memasak kupersiapkan diri untuk mengajar hari ini. Meskipun tanpa murid di kelasku, aku tetap melakukannya melalui online. Sebuah pengajaran gaya baru di era pandemi itu. memang sangat merepotkan, tetapi toh semua itu harus dijalani. Tak semudah mereka yang hanya bicara saja. Karena dengan melakukannya berarti aku juga merasakan kesuliatanku. Dengan 22 orang muridku, berati kau mengajar 2 kali lipat dari jumlah muridku. Orang tua pun ikut menjadi murid saya secara otomatis. Kadang mereka minta penjelasan bagaimana akan memberi penjelasan kepada anak-anaknya. Secara tidak langsung mereka menjadi duplikatku sebagai guru. Untuk itu aku sangat berterimakasih kepada mereka. Karena dengan kerjasama itu anak menjadi lebih mengerti.

Kulanjutkan tugasku dengan memasak yang lainnya. Kuiris terong ungu akan kujadikan sambal. Sambal ini adalah makanan kesukaanku. Warnanya yang ungu juga menjadi kesukaanku, meskipun warna itu tak disukai oleh anakku. Tetapi aku tetap menyukainya dan anakku mau mentolerir kesukaan yang tak disukainya itu. Sungguh suatu hadiah yang tak bagus bagiku. Kuakhiri kegiatan pagiku bersama terong ungu, nasi putih, kopi hitam, dan banyak impianku.